Rabu, 22 Desember 2010

Asuhan Keperawatan Fraktur Cruris

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN FRAKTUR CRURIS


I. PENGERTIAN

Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang dikenao stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Brunner & Suddart, 2000)

II. JENIS FRAKTUR
a. Fraktur komplet : patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran.
b. Fraktur tidak komplet: patah hanya pada sebagian dari garis tengah tulang
c. Fraktur tertutup: fraktur tapi tidak menyebabkan robeknya kulit
d. Fraktur terbuka: fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke patahan tulang.
e. Greenstick: fraktur dimana salah satu sisi tulang patah,sedang sisi lainnya membengkak.
f. Transversal: fraktur sepanjang garis tengah tulang
g. Kominutif: fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa frakmen
h. Depresi: fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam
i. Kompresi: Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)
j. Patologik: fraktur yang terjadi pada daerah tulang oleh ligamen atau tendo pada daerah perlekatannnya.

III. ETIOLOGI
a. Trauma
b. Gerakan pintir mendadak
c. Kontraksi otot ekstem
d. Keadaan patologis : osteoporosis, neoplasma

IV. PATYWAYS

Trauma langsung trauma tidak langsung kondisi patologis


FRAKTUR

Diskontinuitas tulang pergeseran frakmen tulang

Perub jaringan sekitar kerusakan frakmen tulang

Pergeseran frag Tlg laserasi kulit: spasme otot tek. Ssm tlg > tinggi dr kapiler

putus vena/arteri peningk tek kapiler reaksi stres klien
deformitas
perdarahan pelepasan histamin melepaskan katekolamin
gg. fungsi
protein plasma hilang memobilisai asam lemak
kehilangan volume cairan
edema bergab dg trombosit

emboli
penekn pem. drh
menyumbat pemb drh
penurunan perfusi jar





V. MANIFESTASI KLINIS
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang diimobilisasi, hematoma, dan edema
b. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
c. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur
d. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan foto radiologi dari fraktur : menentukan lokasi, luasnya
b. Pemeriksaan jumlah darah lengkap
c. Arteriografi : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
d. Kreatinin : trauma otot meningkatkanbeban kreatinin untuk klirens ginjal
VII. PENATALAKSANAAN

a. Reduksi fraktur terbuka atau tertutup : tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak semula.
b. Imobilisasi fraktur
Dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna
c. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
 Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan
 Pemberian analgetik untuk mengerangi nyeri
 Status neurovaskuler (misal: peredarandarah, nyeri, perabaan gerakan) dipantau
 Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalakan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah

VIII. KOMPLIKASI
a. Malunion : tulang patah telahsembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.
b. Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjlan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
c. Non union : tulang yang tidak menyambung kembali

IX. PENGKAJIAN
1. Pengkajian primer
- Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk
- Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi
- Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut
2. Pengkajian sekunder
a.Aktivitas/istirahat
 kehilangan fungsi pada bagian yangterkena
 Keterbatasan mobilitas
b. Sirkulasi
 Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)
 Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
 Tachikardi
 Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera
 Cailary refil melambat
 Pucat pada bagian yang terkena
 Masa hematoma pada sisi cedera
c. Neurosensori
 Kesemutan
 Deformitas, krepitasi, pemendekan
 kelemahan
d. Kenyamanan
 nyeri tiba-tiba saat cidera
 spasme/ kram otot
e. Keamanan
 laserasi kulit
 perdarahan
 perubahan warna
 pembengkakan lokal




X. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
a. Kerusakan mobilitas fisik b.d cedera jaringan sekitasr fraktur, kerusakan rangka neuromuskuler
Tujuan : kerusakn mobilitas fisik dapat berkurang setelah dilakukan tindakan keperaawatan
Kriteria hasil:
 Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin
 Mempertahankan posisi fungsinal
 Meningkaatkan kekuatan /fungsi yang sakit
 Menunjukkan tehnik mampu melakukan aktivitas
Intervensi:
a. Pertahankan tirah baring dalam posisi yang diprogramkan
b. Tinggikan ekstrimutas yang sakit
c. Instruksikan klien/bantu dalam latian rentanng gerak pada ekstrimitas yang sakit dan tak sakit
d. Beri penyangga pada ekstrimit yang sakit diatas dandibawah fraktur ketika bergerak
e. Jelaskan pandangan dan keterbatasan dalam aktivitas
f. Berikan dorongan ada pasien untuk melakukan AKS dalam lngkup keterbatasan dan beri bantuan sesuai kebutuhan’Awasi teanan daraaah, nadi dengan melakukan aktivitas
g. Ubah psisi secara periodik
h. Kolabirasi fisioterai/okuasi terapi
b.Nyeri b.d spasme tot , pergeseran fragmen tulang
Tujuan ; nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan perawatan
Kriteria hasil:
 Klien menyatajkan nyei berkurang
 Tampak rileks, mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/istirahat dengan tepat
 Tekanan darahnormal
 Tidak ada eningkatan nadi dan RR
Intervensi:
a. Kaji ulang lokasi, intensitas dan tpe nyeri
b. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring
c. Berikan lingkungan yang tenang dan berikan dorongan untuk melakukan aktivitas hiburan
d. Ganti posisi dengan bantuan bila ditoleransi
e. Jelaskanprosedu sebelum memulai
f. Akukan danawasi latihan rentang gerak pasif/aktif
g. Drong menggunakan tehnik manajemen stress, contoh : relasksasi, latihan nafas dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan
h. Observasi tanda-tanda vital
i. Kolaborasi : pemberian analgetik

C. Kerusakan integritas jaringan b.d fraktur terbuka , bedah perbaikan
Tujuan: kerusakan integritas jaringan dapat diatasi setelah tindakan perawatan
Kriteria hasil:
 Penyembuhan luka sesuai waktu
 Tidak ada laserasi, integritas kulit baik

Intervensi:
a. Kaji ulang integritas luka dan observasi terhadap tanda infeksi atau drainae
b. Monitor suhu tubuh
c. Lakukan perawatan kulit, dengan sering pada patah tulang yang menonjol
d. Lakukan alihposisi dengan sering, pertahankan kesejajaran tubuh
e. Pertahankan sprei tempat tidur tetap kering dan bebas kerutan
f. Masage kulit ssekitar akhir gips dengan alkohol
g. Gunakan tenaat tidur busa atau kasur udara sesuai indikasi
h. Kolaborasi emberian antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA



1. Tucker,Susan Martin (1993). Standar Perawatan Pasien, Edisi V, Vol 3. Jakarta. EGC
2. Donges Marilynn, E. (1993). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta. EGC
3. Smeltzer Suzanne, C (1997). Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Edisi 8. Vol 3. Jakarta. EGC
4. Price Sylvia, A (1994), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 2 . Edisi 4. Jakarta. EGC

Asuhan Keperawatan Fistel Umbilikalis

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN FISTEL UMBILIKALIS



PENGERTIAN
Umbilikalis fistel atau fistel umbilikalis atau fistula vitellina adalah suatu keadaan kongenital dimana duktus vitellinus tetap dipertahankan seluruhnya sehingga membentuk hubungan langsung antara pusat dengan seluruh pencernaan. Dalam hal ini dapat dikeluarkan tinja melalui pusat.

Gambar anatominya:

Keterangan gambar :
Sisa-sisa duktus vitellinus; (A). Divertikulum Meckeli bergabung dengan tali fibrosa (ligamentum vitellina). (B). Kista vitellina berhubungan dengan pusat dan dinding ileum melalui ligamentum vitellina. (C). Fistula Vitellina yang menghubungkan rongga ileum dengan pusat.

PENATALAKSANAAN
1. Tindakan Medis : Pembedahan
2. Tindakan Keperawatan :
Preoperasi;
Diagnosa keperawatan
a) Cemas sehubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang proses berpikir, pembedahan, ancaman gangguan fungsi tubuh, nyeri dan rasa tidak nyaman; dan kemungkinan tumor ganas.

b) Gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh sehubungan dengan intake yang tidak adekuat dan gangguan pencernaan dan absorsi makanan dan cairan yang harus diberikan untuk proses penyakit.

c) Potensial infeksi sehubungan dengan pembedahan di dalam usus dan berkurangnya resistensi karena malnutrisi dan atau proses penyakit.

Intervensi keperawatan
• Eksplorasi pasien untuk mengungkapkan rasa takut (kuatir).
• Libatkan keluarga pasien dengan memperhatikan keadaan sosial ekonomi atau masalah di dalam keluarga.
• Jelaskan kepada keluarga dan pasien prosedur-prosedur yang akan digunakan saat postoperasi; napas dalam, batuk teratur, ambulasi awal.
• Kaji tanda-tanda kemungkinan dehidrasi pada pasien.
• Beri cairan ekstra untuk hidrasi yang optimal, makanan tinggi kalori, rendah sisa termasuk tinggi protein dan vitamin.
• Transfusi darah diberikan untuk mencegah anemia dan menunjang kondisi umum pasien.
• Persiapan operasi dengan puasakan pasien 26 - 36 jam sebelum operasi.

Selama masa preoperasi, pasien diberikan obat oral antimikroba untuk merusak organisme diusus (sterilisasi eliminasi / b.a.b.)
Bila dengan pemberian antibiotika oral, pasien mengalmi diare, pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.

Postoperasi;
Diagnosa keperawatan
1. Potensial infeksi sehubungan dengan tindakan pembedahan dan proses penyembuhan.
2. Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan sehubungan dengan bedah intestinal, berkurangnya kerja usus, dan kehilangan cairan dan elektrolit karena pengeringan intestinal.
3. Pola napas yang tidak efektif sehubungan dengan nyeri insisi, distensi abdomen dan kurangnya mobilisasi.
4. Gangguan pola eliminasi (sistem perkemihan ) sehubungan dengan bedah perineal (mengikuti abdominoperineal)
5. Gangguan pola eliminasi (sistem pencernaan /b.a.b.) sehubungan dengan peristaltik berkurang, mobilisasi yang kurang, dan ileostomi.
6. Kurangnya pengetahuan tentang nutrisi, membagi / mengatur aktifitas dan pola eliminasi sendiri.

Intervensi Keperawatan
1. Kontrol balutan dan area luka apakah terjadi tanda-tanda awal perdarahan. Inspeksi insisi dan ganti balutan bila terlihat kemerahan, edema dan pengeringan
2. Monitor suhu pasien secara teratur untuk bebrapa hari. Evaluasi suhu yang tiba-tiba dapat diindikasikan terjadinya infeksi.
3. Hindari kontaminasi area peritoneum dari sekret intestinal.
4. Makanan peoral selama beberapa hari pertama tidak diberikan; cairan intravena digunakan untuk membantu pasien. Bila cairan dapat ditolerir pasien (NGT dapat dilepas) dan nutrisi dapat diberikan berupa makanan lunak. Hindari makanan yang mengandung gas dan cairan yang mengandung karbonat.
5. Catat intake dan output termasuk drainage intestinal. Ispeksi kerja peristaltik usus dengan stetoskop.
6. Lakukan 5 -10 kali napas setiap jam sebagai ventilasi penuh alveoli pasien dan batuk teratur beberapa kali untuk memancing mukus keluar.
7. Ganti posisi pasien setiap jam untuk mencegah tekanan pada diafragma.
8. Lakukan ambulasi malam dan pagi hari. Kolaborasi dengan fisioterapi.
9. Hindari kontaminasi pada daerah perineal, terutama bila ada pemasangan kateter.
10. Catat bila terjadi flatus, sebagai indikasi peristaltik.
11. Lakukan ambulasi awal untuk mengaktifkan peristaltik.
12. Ajarkan klien dan keluarga pentingnya nutrisi; menghindari makanan mengandung gas dan makanan kasar; cairan yang adekuat.
13. Ajarkan pasien berdiri dan berjalan. Hindari aktifitas fisik yang berat.
14. Ajarkan perawatan mandiri ileostmi pasien.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Salder, TW.1988. Embriologi Kedokteran, Edisi ke V. Alih bahasa : Dr. Irwan Susanto. EGC Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.

Watson, JE. dan Joan R. Royle, 1987. Medical Surgical Nursing and Related Physiology. Clays Ltd. St. Ives plc, England.

Asuhan Keperawatan Endokarditis

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN ENDOKARDITIS


Pengertian
Radang pada lapisan jantung yang paling dalam yang terdiri dari lapisan selaput lendir.
1. Endokarditis Infektif
2. Endokarditis Non Infektif
Ad. 1. Endokarditis Infektif
Penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri pada endokardium atau pembuluh darah besar.
Endokarditis Infektif dibedakan berdasarkan gambaran klinisnya :
• Endokarditis bakteial subakut
• Timbul dalam beberapa minggu atau bulan
• Disebabkan oleh bakteri yang lebih ganas seperti Sterptococus viridans
• Endokarditis Bakterial akut
• Timbul dalam beberapa hari sampai beberapa minggu
• Dengan tanda – tanda klinik yang lebih berat
• Disebabkan oleh bakteri yang ganas seperti Stafilokokus aureus
Ad. Endokarditis Non Infektif
Disebabkan oleh faktor Trombosis yang disertai dengan vegetasi.
Didapatkan pada penderita stadium akhir dari proses keganasan.
Endokarditis berdasarkan jenis katub jantung yang terkena infeksi dibedakan menjadi 2 :
 Native valve endokarditis yaitu infeksi pada katub jantung alami.
 Prognetic valve endokartis yaitu infeksi pada katub jantung buatan.
 Epidemiologi
Epidemiologi sering terdapat pada penderita dengan kelainan jantung maupun kelainan katub akibat reuma, kelainan bawaan atau prolaps katub mitral, katub jantung bawaan.
Tanpa kelainan jantung sebelumnya maupun penderita dengan ketergantungan obat atau anak dibawah 2 tahun dengan infeksi yang berat.
 Faktor Predisposisi
Kelainan – kelainan yang dapat menjadi predisposisi :
o Kelainan katub jantung, terutama penyakit jantung rematik.
o Katub buatan.
o Katub yang floppy pada sindrom marfan.
o Tindakan bedah gigi atau orotaring yang baru.
o Tindakan pembedahan pada saluran urogenital atau saluran pernafasan.
o Pecandu narkotika.
o Kelainan jantung bawaan PDA, VDS.
o Luka bakar.
o Hemodialisis.
o Penggunaan kateter vena sentral dan pemberian nutrisi parenteral yang lama.
Endokarditis infektif juga terjadi tanpa adanya kelainan katub atau faktor predisposisi terutama pada lansia.
 Gejala Klinis
Gejala timbul kurang lebih 2 minggu setelah masa inkubasi dengan kelainan seperti kelenjar infeksi yang umum antara lain : panas yang tidak terlalu tinggi, sakit kepala, nafsu makan kurang, lemas, berat badan turun.
Timbulnya gejala karena komplikasi seperti gagal jantung, gejala emboli pada organ tubuh yang terkena maupun gejala neurologis.
Sakit dada, sakit perut kiri atas, hematuria, tanda ischemia di ekstremitas.
Endokarditas Infektif Akut :
 Tanda – tanda infeksi (panas tinggi menggigil).
 Petechiae.
 Splinter hemorrhage.
 Osler`s nodes.
 Emboli  Infark.
 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium  Darah.
 Lekositosis tinggi.
 Anemia normrkromnormositer.
 LED tinggi.
 Ig serum tinggi.
 Uji fraksi gamaglobulin bertambah.
 Total hemolitik komplemen & komplemen C³ dalam serum menurun.
 Kadar bilirubin darah tinggi.
Urine
 Proteinuria .
 Hematuria secara mokroskapis.
2. EKG
Menunjukkan perluasan infeksi ke otot jantung.
3. Ekokardiografiuntuk :
Melihat vegetasi pada kutub aorta.
Melihat dilatasi atau hipertrofi atrium.
Mencari penyakit yang menjadi faktor predisposisi endokarditis.
Penutupan katub mitral.
4. Pemeriksaan rontgen.
Untuk melihat adanya klasifikasi pada katub.
 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan bila memenuhi kriteria sbb :
1. Septikemia.
2. Kelainan Jantung bawaan.
3. Demam yang lama.
 Komplikasi
1. Gagal jantung.
2. Emboli.
3. Aneurisma nekrotik.
4. Gangguan neurologi.
 Th / : 1. Tirah baring
2. Farma kotepi : Penicillin G.
Penicillin V .
Streptomicin, gentamicin.
3. Pengob suportif.
4. Pembedahan.
5. Diet.
 Pragnosis
Pragnosis jelek bila ditemukan :
1. Payah jantung.
2. Mikrooranisme yang resisten terhadap antio.
3. Pengobatan yang terlambat.
4. Bakterimia.
5. Infeksi yang terjadi sesudah pemasangan katub prostetik.
6. Orang tua tanpa panas dan keadaan umum yang buruk.
 Pengkajian data dasar
Riwayat atau adanya faktor – faktor resiko.
Px fisik berdasarkan pengkajian status kardiovaskuler .
Px diagnostik .
Kaji perasaan ps dan masalah – masalah tentang kondisi distress.
 Dx Keperawatan
Intoleran aktivitas b/d penurunan curah jantung akibat infeksi endokarditis.
Ansietas b/d ancaman terhadap kematian mendadak, kurang pengetahuan tentang kondisinya.
Gangguan pola tidur b/d menggigil (demem), berkeringat sebagai akibat dari infeksi.
Resiko tinggi terhadap kerusakan penatalaksanaan pemeliharaan dirumah b/d koping yang tidak efektif dalam mengatasi perubahan – perubahan gaya hidup.
 Int ervensi
Dx 1
Rencana tujuan : pasien mampu mendemonstrasikan daya tahan terhadap aktivitas
Rencana tindakan :
Pantau toleransi terhadap aktivitas.
Periksa denyut nadi sebelum dan sesudah aktivitas.
Rencaakan aktivitas yang memungkinkan untuk periode istirahat.
Kurangi aktivitas pasien.
Bantu aktivitas sehari – hari sesuai keperluan .
Anjurkan pasien untuk tirah baring.
Rasionalisasi :
Ketahanan fisik dapat ditingkatkan ketika aktivitas yg dilakukan bertambah.
Intervensi ini sebagai indikasi bahwa pasien mempunyai batas aktivitas max.
Tirah baring mengurangi beban kerja jantung dengan mengurangi energi .yang dibutuhkan tubuh.
Dx 2
Rencana tujuan : Rasa cemas pasien berkurang dengan kriteria ekspresi wajah rileks, ps mengerti tentang kondisinya.
Rencana tindakan :
Jelaskan kepada pasien tentang keadaanya.
Beri kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan perasaannya.
Alihkan perhatian pasien.
Libatkan keluarga dalam keperawatan.
Ciptakan lingkungan yang tenang.
Konsulkan pada dokter jika pasien tetap cemas.
Rasionalisasi :
 Kecemasan menimbulkan suatu stres tambahan terhadap keadaan jantung.
 Keluarga adalah orang terdekat dari pasien yang mengerti benar tentang keadaan pasien sehingga keluarga mampu memberi dukungan mental kepada pasien.
Dx 3
Rencana Tujuan : Kebutuhan istirahat tidur pasien terpenuhi dengan kriteria pasien tidak menggigil dan keringat berkurang, suhu 36 - 37º C.
Rencana Tindakan :
 Observasi suhu tubuh.
 Ciptakan lingkungan yang nyaman (tempat tidur, pakaian).
 Anjurkan pasien untuk menggunakan selimut tipis.
 Lakanakan terapi dari dokter.
Dx 4
Rencana tujuan : Pasien mau melaksanakan perawatannya dirumah dengan kriteria pasien dapat menerima tanggung jawab untuk melakukan perawatan diri sendiri, pasien mau shering dengan petugas kesehatan, tentang perasaan dan masalah-masalah perubahan gaya hidupnya.
Rencana tindakan :
 Yakinkan pada pasien untuk segera menghubungi dokter jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
 Jelaskan pada pasien bahwa perawatan sangat diperlukan .
 Anjurkan pasien untuk check up.
Rasionalisasi :
 Kesanggupan melakukan pengobatan bertambah setelah pasien memahami keterkaitan antara kondisi kesehatan dan penanganannya.
 Dengan check up untuk menghindari kemungkinan terinfeksi kembali.
 Implementasi
Dx 1
 Memantau toleransi terhadap aktivitas.
 Memeriksa denyut nadi sebelum dan sesudah aktivitas.
 Merencanakan aktivitas yang memungkinkan untuk periode istirahat.
 Mengurangi aktivitas pasien.
 Membantu aktivitas sehari – hari sesuai keperluan.
 Menganjurkan pasien untuk tirah baring
Dx 2
 Menjelaskan pasien tentang keadaannya.
 Membantu kesempatan pasien untuk mengungkapkan perasaannya.
 Mengalihkan perhatian pasien.
 Melibatkan keluarga dalam perawatan.
 Menciptakan lingkungan yang tenang .
 Mengonsulkan kepada dokter jika pasien tetap cemas.
Dx 3
 Mengobservasi suhu tubuh setiap 4 jam.
 Menciptakan lingkungan yang nyaman.
 Menganjurkan pasien untuk menggunakan selimut tipis.
 Melaksanakan terapi dokter.
Dx 4
 Meyakinkan pasien untuk segera menghubungi dokter jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
 Menjelaskan kepada pasien bahwa perawatan sangat diperlukan .
 Menganjurkan pasien untuk check up setiap 2 bulan setelah pengobatan.

Asuhan Keperawatan Erythema Multiformis

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ERYTHEMA MULTIFORMIS



A. KONSEP MEDIS
1. Definisi
Erythema Multiformis merupakan erupsi mendadak pada kulit atau selaput lendir dengan tanda khas berupa lesi iris. Bila keadaan ini tidak segera ditangani maka akan menjadi penyakit kulit yang akut dan berat yang dinamakan Syndrom Steven Johnson (SSJ).

2. Etiologi
Penyebab pasti belum diketahui. Tetapi ada beberapa faktor yang berkaitan erat dengan terjadinya Erythema Multiformis.
- Infeksi.
- Obat = penisilin, barbiturat, hydantion, sulfonamid dan fenolfalin.
- Sinar X , sinat matahari, dan cuaca.
- Neoplasma.
- Kehamilan.


3. Patofisiologi
Erythema Multiformis merupkan suatu jenis reaksi kulit yang secara histologis ditandai mula-mula adanya infiltrat limfositolitik pada batas antara dermis dan epidermis dan kemudian dengan adanya vesiculasi sub – epidermis. Secara klinis ini ditandai oleh adanya berbagai lesi, termasuk lesi-lesi kulit yang khas seperti iris atau target (sasaran). Erythema multiformis dianggap sebaga syndrom hipersensitivitas, tetapi mekanisme imunologisnya yang tepat belumlah diketahui. Penyakit yang akut sering kambuh ini, paling sering muncul dalam musim dingin dan awal musim semi pada kanak-kanak dan orang dewasa.
Banyak faktor penyebab yang telah diketemukan, termasuk infeksi obat-obatan, perubahan hormonal, penyakit-penyakit kanker. Infeksi herpes simpleks merupakan asal mula penyebab infeksi yang paling sering, meskipun berbagai penyakit infeksi yang lain seperti virus,bakteri dan myobakteri. Juga sering dijumpai mycoplasma pnemoniae pernah dapat dibiakkan dari tenggorokan dan bulo dari bebepa pasien. Penicillin, barbiturat, sulfonamide dan banyak obat lainnya bisa menimbulkan gambaran yang sama.
Bentuk Erythema Multiformis ringan sembuh dengan sendirinya dalam 2 – 3 minggu, bentuk yang lebih berat dimana ikut juga terkena secara luas selaput lendir, disebut sebagai Syndrom Steven Johnson, bisa berlangsung 6 – 8 minggu dan merupakan penyakit sangat berbahaya dan sering fatal.

4. Signs/Symtoms
- Panas tinggi.
- Nyeri terus menerus.
- Malaise.
- Pusing.
- Batuk pilek.
- Nyeri tenggorokan.
- Lesi mulut.
- Konjungtivitis.

5. Komplikasi
- SSJ ( Syndrom Steven Johnson)
- Bronkopnemonia.
- Dehidrasi.
- Syok.
- Kebutaan.

6. Treatment
- Obat kortikosteroid : prednison.
: Dexamethason.


B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien dengan Erythema Multiformis antara lain :
- Riwayat kesehatan.
- Keluhan utama.
- Riwayat alergi obat atau riwayat terkena infeksi.
- Kajiadanya demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk pilek, nyeri tenggorokan, stomatitis, konjungtivitis, balanitis / uretritis.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan edema mukosa saluran pernafasan.
b. Resiko tinggi defisit volume cairan berhubungan dengan perdarahan.
c. Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan.
d. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan destruksi permukaan kulit.

3. Intervensi
DP. a).
- Kaji frekuensi, irama, spuntum, auskultasi paru.
- Kaji adanya stridor dan wheezing.
- Kaji adanaya cyanosis.
- Beri Oksigen bila pasien mengalami sesak.

DP. b).
- Kaji TTV.
- Monitor intake dan output cairan selama 24 jam.
- Kolaborasi pemberian cairan infus.

DP. c).
- Kaji skala nyeri.
- Kolaborasi untuk dilakukan perawatan kulit.
- Lakukan instruksi pengobatan.

DP. d).
- Kaji warna , kedalaman luka, jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka.
- Berikan perawatan luka yang tepat dan kontrol infeksi.





DAFTAR PUSTAKA

Kenneth A. Arnd., M.D. Pedoman Dermatologys. Yogyakarta : Yayasan Essentia Medica.

Mansjoer, Arif. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.

Prince, Sylvia Anderson. (1995). Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit : Patofisiologi. Jakarta : EGC

Sudiarto, Suharto, Sumanto. (2004). Modul Askep Pasien dengan Gangguan Sistem Integumen. Semarang : Dinkes Prop. Jateng

Asuhan Keperawatan Fibroadenoma Mammae, Tumor Jinak

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
FIBROADENOMA MAMMAE


PENGERTIAN
1. Fibroadenoma adalah suatu tumor jinak yang merupakan pertumbuhan yang meliputi kelenjar dan stroma jaringan ikat.
2. Fibroadenoma mammae adalah tumor jinak pada payudara yang bersimpai jelas, berbatas jelas, soliter, berbentuk benjolan yang dapat digerakkan.

PENYEBAB GANGGUAN
1. Peningkatan aktivitas Estrogen yang absolut atau relatif.
2. Genetik : payudara
3. Faktor-faktor predisposisi :
a. Usia :
b. Jenis kelamin
c. Geografi
d. Pekerjaan
e. Hereditas
f. Diet
g. Stress
h. Lesi prekanker

TANDA & GEJALA
1. Secara makroskopik : tumor bersimpai, berwarna putih keabu-abuan, pada penampang tampak jaringan ikat berwarna putih, kenyal
2. Ada bagian yang menonjol ke permukaan
3. Ada penekanan pada jaringan sekitar
4. Ada batas yang tegas
5. Bila diameter mencapai 10 – 15 cm muncul Fibroadenoma raksasa ( Giant Fibroadenoma )
6. Memiliki kapsul dan soliter
7. Benjolan dapat digerakkan
8. Pertumbuhannya lambat
9. Mudah diangkat dengan lokal surgery
10. Bila segera ditangani tidak menyebabkan kematian
PATOFISIOLOGI
Fibroadenoma merupakan tumor jinak payudara yang sering ditemukan pada masa reproduksi yang disebabkan oelh beberapa kemungkinan yaitu akibat sensitivitas jaringan setempat yang berlebihan terhadap estrogen sehingga kelainan ini sering digolongkan dalam mamary displasia.
Fibroadenoma biasanya ditemukan pada kuadran luar atas, merupakan lobus yang berbatas jelas, mudah digerakkan dari jaringan di sekitarnya. Pada gambaran histologis menunjukkan stroma dengan proliferasi fibroblast yang mengelilingi kelenjar dan rongga kistik yang dilapisi epitel dengan bentuk dan ukuran yang berbeda. Pembagian fibroadenoma berdasarkan histologik yaitu :
1. Fibroadenoma Pericanaliculare
Yakni kelenjar berbentuk bulat dan lonjong dilapisi epitel selapis atau beberapa lapis.
2. Fibroadenoma intracanaliculare
Yakni jaringan ikat mengalami proliferasi lebih banyak sehingga kelenjar berbentuk panjang-panjang (tidak teratur) dengan lumen yang sempit atau menghilang.
Pada saat menjelang haid dan kehamilan tampak pembesaran sedikit dan pada saat menopause terjadi regresi.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Biopsi
2. Pembedahan
3. Hormonal
4. PET ( Positron Emision Tomografi )
5. Mammografi
6. Angiografi
7. MRI
8. CT – Scan
9. Foto Rontqen ( x – ray )
10. Blood Study
PENCEGAHAN DAN DETEKSI DINI
1. Faktor-faktor resiko
2. Pemerikasaan payudara sendiri
3. Pemeriksaan klinik
4. Mammografi
5. Melaporkan tanda dan gejala pada sumber/ahli untuk mendapat perawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (1999). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarata.

Carpenito, Lynda Juall. (2000.). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Doenges, Marilynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume 2, (terjemahan). Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Junadi, Purnawan. (1982). Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan). Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.

Mansjoer, Arif., et all. (1999). Kapita Selekta Kedokteran. Fakultas Kedokteran UI : Media Aescullapius.

(1994). Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Bedah. Fakultas Kedokteran Unair & RSUD dr Soetomo Surabaya

Asuhan Keperawatan Demam Tifoid, Thypoid

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN DEMAM TIFOID


A. DEFINISI
Demam/Febris Tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus. Demam Paratifoid biasanya lebih ringan dan menunjukkan maniffestasi klinis yang sama/menyebabkan enteritis akut. Sinonim demam Tifoid dan Paratifoid adalah Typhoid dan Paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan paratyphus abdominatis.
( Juwono, Rachmat. 1996 )

B. ETIOLOGI
Etiologi dari demam typoid dan paratyphoid adalah S. typhi, S. Paratyphi A, S. Paratyphi B dan S. Paratyphi C.
( Juwono, Rachmat. 1996 )

C. PATOFISIOLOGI
Kuman S. typhi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung. Sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan Limpoid plague poyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi.
Ditempat tersebut komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi. Kuman S. typhi kemudian menembus ke lamina propia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe mesenterial, yang juga mengalami hipertropi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini S. typhi masuk aliran darah melalui ductus tharacicus. Kuman-kuman S. typhi lain mencapai hati melalui sirkulasi portal dan usus.
( Juwono, Rachmat. 1996 )
D. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Biakan darah positif memastikan demam typhoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam typhoid. Biakan tinja positif menyokong diagnosis klinis demam typhoid.
Peningkatan titer ufi widal empat kali lipat selama 2 – 3 minggu memastikan diagnosis demam typhoid.
( Juwono, Rachmat. 1996 )
E. FOKUS INTERVENSI
1. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi salmonella typosa/typhi. (Lynda Jual, 1998)
Tujuan : - pasien akan mencapai suhu tubuh yang normal.
- Pasien mengatakan badan tidak demam lagi.
- TTV dalam batas normal.
Intervensi : - kaji sejauh mana pengetahuan pasien tentang hipertermi.
- Jelaskan penyebab terjadinya hipertermi.
- Jelaskan upaya-upaya untuk mengatasi hipertermi dan bantu pasien untuk melaksanakan upaya tersebut :
+ Beri kompres dingin.
+ Anjurkan pasien menggunakan pakaian yang tipis dan menyerap keringat.
+ Ciptakan suasana yang tenang.
+ Ganti pakaian dan alat tenun jika basah.
2. Hipertermi b/d proses inflamasi dalam usus. (Lynda Jual, 1995)
Tujuan : pasien dapat mempertahankan suhu tubuhnya dibawah 38oC.
Intervensi : - kaji ulang vital sigh.
- Monitor input dan output.
- Berikan kompres dingin.
- Berikan obat sesuai dengan advis dokter.
3. Difreit volume cairan b/d tidak adekuat intake cairan. (Carpenito Lynda Jual, 1995)
Tujuan : volume cairan dan elektrolit menjadi seimbang dan adekuat.
Intervensi : - monitor intake dan output cairan.
- Anjurkan pasien banyak minum.
- Monitor KU pasien.
- Monitor tetesan infus.

F. PATHWAY



(Juwono, 1999)
-

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Linda Juall. 1995. Diagnosa Keperawatan. Gramedia. Jakarta.

Doengoes. E Marilynn. 2000. Rencana asuhan Keperawatan. Buku Kedokteran Jakarta.

Juwono, Rahmat. 1996. Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.

Asuhan Keperawatan Fraktur Femur

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR FEMUR


I. DEFENISI
Rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang / osteoporosis.
II.
III. FISIOLOGI / ANATOMI
Persendian panggul merupakan bola dan mangkok sendi dengan acetabulum bagian dari femur, terdiri dari : kepala, leher, bagian terbesar dan kecil, trokhanter dan batang, bagian terjauh dari femur berakhir pada kedua kondilas. Kepala femur masuk acetabulum. Sendi panggul dikelilingi oleh kapsula fibrosa, ligamen dan otot. Suplai darah ke kepala femoral merupakan hal yang penting pada faktur hip. Suplai darah ke femur bervariasi menurut usia. Sumber utamanya arteri retikuler posterior, nutrisi dari pembuluh darah dari batang femur meluas menuju daerah tronkhanter dan bagian bawah dari leher femur.
IV.
V. KLASIFIKASI
Ada 2 type dari fraktur femur, yaitu :
1. Fraktur Intrakapsuler; femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul dan kapsula.
Melalui kepala femur (capital fraktur)
Hanya di bawah kepala femur
Melalui leher dari femur
2. Fraktur Ekstrakapsuler;
Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur yang lebih besar/yang lebih kecil /pada daerah intertrokhanter.
Terjadi di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2 inci di bawah trokhanter kecil.


VI. PATOFISIOLOGI
A. PENYEBAB FRAKTUR ADALAH TRAUMA
Fraktur patologis; fraktur yang diakibatkan oleh trauma minimal atau tanpa trauma berupa
yang disebabkan oleh suatu proses., yaitu :
Osteoporosis Imperfekta
Osteoporosis
Penyakit metabolik



1. TRAUMA
Dibagi menjadi dua, yaitu :
Trauma langsung, yaitu benturan pada tulang. Biasanya penderita terjatuh dengan posisi miring dimana daerah trokhanter mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan).
Trauma tak langsung, yaitu titik tumpuan benturan dan fraktur berjauhan, misalnya jatuh terpeleset di kamar mandi pada orangtua.

TANDA DAN GEJALA
Nyeri hebat di tempat fraktur
Tak mampu menggerakkan ekstremitas bawah
Rotasi luar dari kaki lebih pendek
Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah, bengkak, kripitasi, sepsis pada fraktur terbuka, deformitas.

PENATALAKSANAAN MEDIK
X.Ray
Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
CCT kalau banyak kerusakan otot.


TRAKSI
Penyembuhan fraktur bertujuan mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam jangka waktu sesingkat mungkin
Metode Pemasangan traksi:
Traksi Manual
Tujuan : Perbaikan dislokasi, Mengurangi fraktur, Pada keadaan Emergency.
Dilakukan dengan menarik bagian tubuh.

Traksi Mekanik
Ada dua macam, yaitu :
Traksi Kulit
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk struktur yang lain, misalnya: otot. Traksi kulit terbatas
untuk 4 minggu dan beban
Untuk anak-anak waktu beban tersebut mencukupi untuk dipakai sebagai fraksi definitif, bila tidak diteruskan dengan pemasangan gips.


Traksi Skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal atau penjepit melalui tulang/jaringan metal.

KEGUNAAN PEMASANGAN TRAKSI
Traksi yang dipasang pada leher, di tungkai, lengan atau panggul, kegunaannya :
Mengurangi nyeri akibat spasme otot
Memperbaiki dan mencegah deformitas
Immobilisasi
Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi).
Mengencangkan pada perlekatannya.


MACAM - MACAM TRAKSI
Traksi Panggul
Disempurnakan dengan pemasangan sebuah ikat pinggang di atas untuk mengikat puncak iliaka.

Traksi Ekstension (Buck’s Extention)
Lebih sederhana dari traksi kulit dengan menekan lurus satu kaki ke dua kaki. Digunakan untuk immibilisasi tungkai lengan untuk waktu yang singkat atau untuk mengurangi spasme otot.

Traksi Cervikal
Digunakan untuk menahan kepala extensi pada keseleo, kejang dan spasme. Traksi ini biasa dipasang dengan halter kepala.

Traksi Russell’s
Traksi ini digunakan untuk frakstur batang femur. Kadang-kadang juga digunakan untuk terapi nyeri punggung bagian bawah. Traksi kulit untuk skeletal yang biasa digunakan.
Traksi ini dibuat sebuah bagian depan dan atas untuk menekan kaki dengan pemasangan vertikal pada lutut secara horisontal pada tibia atau fibula.

Traksi khusus untuk anak-anak
Penderita tidur terlentang 1-2 jam, di bawah tuberositas tibia dibor dengan steinman pen, dipasang staples pada steiman pen. Paha ditopang dengan thomas splint, sedang tungkai bawah ditopang atau Pearson attachment. Tarikan dipertahankan sampai 2 minggu atau lebih, sampai tulangnya membentuk callus yang cukup. Sementara itu otot-otot paha dapat dilatih secara aktif.


DAFTAR KEPUSTAKAAN
Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ). Philadelpia, F.A. Davis Company.
Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.

Selasa, 21 Desember 2010

Asuhan Keperawatan Asma

ASUHAN KEPERAWATAN ASMA


A. PENGERTIAN
Asma adalah penyakit pernapasan obstruktif yang ditandai oleh spasme otot polos bronkiolus. (Corwin E.J., 2001 : 430)
Asma adalah obstruksi akut pada bronkus yang disebabkan oleh penyempitan yang intermiten pada saluran napas di banyak tingkat mengakibatkan terhalangnya aliran udara. (Stein J.H., 2001 : 126)
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik jalan napas yang mengakibatkan berbagai sel inflamasi. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus dalam berbagai tingkat, obstruksi jalan nafas dan gejala pernafasan (mengi atau sesak). (Mansjoer A., 1999 : 476-477)
Asma adalah gangguan pernapasan pada bronkus yang menyebabkan penyempitan intermiten pada saluran pernafasan.
B. ETIOLOGI
Secara etiologis asma dibagi dalam 3 tipe :
1. Asma tipe non atopik (intrinsik)
Pada golongan ini, keluhan tidak adanya hubungan dengan paparan (exposure) terhadap alergen dan sifat-sifatnya adalah :
a. Serangan timbul setelah dewasa.
b. Pada keluarga tidak ada yang menderita asma.
c. Penyakit infeksi sering menimbulkan serangan.
d. Ada hubungan dengan pekerjaan dan beban fisik.
e. Rangsangan / stimuli psikis mempunyai peran untuk menimbulkan serangan reaksi asma.
f. Perubahan-perubahan cuaca atau lingkungan yang non spesifik merupakan keadaan yang peka bagi penderita.
2. Asma tipe atopik (ekstrinsik)
Pada golongan ini, keluhan ada hubungannya dengan paparan (exposure) terhadap alergen yang spesifik. Kepekaan ini biasaanya ditimbulkan dengan uji kulit atau provokasi bronkial. Pada tipe ini mempunyai sifat-sifat :
a. Timbul sejak kanak-kanak
b. Pada famili ada yang mengidap asma
c. Ada eksim waktu bayi
d. Sering menderita rinitis
e. Di Inggris penyebabnya house dust mite, di USA tepung sari bunga rumput
3. Asma Campuran (mixed)
Pada golongan ini, keluhan diperberat oleh faktor-faktor intrinsik maupun ekstrinsik. (Alsagaff, H. dkk.1993 : 2)
C. MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang timbul biasanya berhubungan dengan beratnya derajat hiperaktivitas bronkus. Obstruksi jalan nafas dapat reversibel secara spontan, maupun dengan pengobatan. Gejala-gejala asma antara lain :
1. Bising mengi (Wheezing) yang terdengar dengan atau tanpa stetoskop.
2. Batuk produktif, sering pada malam hari.
3. Napas atau dada seperti tertekan. (Mansjoer A., 1999 : 477)
D. PATOFISIOLOGI
Asma adalah obstruksi jalan napas difus reversibel. Obstruksi disebabkan oleh satu atau lebih dari yang berikut ini :
1. Kontraksi otot yang mengelilingi bronki, yang menyempitkan jalan napas.
2. Pembengkakan membran yang melapisi bronki.
3. Pengisian bronki dengan mukus yang kental.
Selain itu otot – otot bronkial dan kelenjar mukosa membesar; sputum yang kental, banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi, dengan udara terperangkap di dalam jaringan paru. Mekanisme yang pasti dari perubahan ini tidak diketahui, tetapi apa yang paling diketahui adalah keterlibatan sistem imunologis dan sistem saraf otonom.
Beberapa individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk terhadap lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi, menyebabkan pelepasan sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamin, bradikinin, dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat (SRS – A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas, menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membran mukosa, dan pembentukan mukus yang sangat banyak.
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau nonalergi, ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang oleh faktor seperti infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi dan polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi yang dibahas di atas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respon parasimpatis.
Selain itu reseptor α dan β-adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak dalam bronki. Ketika reseptor α-adrenergik dirangsang, terjadi bronkokonstriksi, bronkodilatasi terjadi ketika reseptor β-adrenergik yang dirangsang. Keseimbangan antara reseptor α dan β-adrenergik dikendalikan terutama oleh siklik adenosin monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor-alfa mengakibatkan penurunan cAMP, yang mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor-beta mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP, yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan menyebabkan bronkodilatasi. Teori yang diajukan ialah bahwa penyekatan β-adrenergik terjadi pada individu dengan asma. Akibatnya, asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan konstriksi otot polos. (Smeltzer, S.C., 2001 : 611-612)
E. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Unsur-unsur yang harus dinilai adalah obstruksi aliran udara dan pertukaran gas :
1. Spirometri di tempat tidur atau pengukuran laju ekspirasi puncak (PEFR)
Spirometri akan memberikan volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV 1.0) tetapi pasien yang menderita bronkospasme akut mungkin tidak dapat melakukan manuver ekspirasi paksa secara lengkap. Karena usaha ini akan memperberat gejala.
2. Analisa gas darah arteri
Bila PaCO2 normal (30-40 mmHg) atau meningkat dapat segera mengalami kegagalan. Pernapasan akut dan harus dirawat di rumah sakit tanpa ditunda lagi.
3. Pulasan sputum dengan gram atau wright dapat mematikan adanya infeksi saluran napas bagian bawah kalau terdapat banyak leukosit dan patogen yang terutama terdiri atas bakteri. (Stein, J.H., 1998 : 128-129)
F. PENATALAKSANAAN
Pengobatan medikamentosa :
1. Waktu serangan
a. Bronkodilator
1) Golongan adrenergik
2) Golongan methylxanthine
3) Golongan antikolinergik
b. Antihistamin
c. Kortikosteroid
d. Antibiotika
e. Ekspektoransia
2. Di Luar serangan
a. Disodium chromoglycate (DSCG)
b. Ketotiten
Pengobatan nonmedikamentosa :
1. Waktu serangan
a. Pemberian oksigen (O2)
b. Pemberian cairan
c. Drainase postural
d. Menghindari alergen
2. Di Luar serangan
a. Pendidikan
b. Imunoterapi / desensifikasi
c. Pelayanan / kontrol emosi. (Alsagaff H.,1993:5)
Menurut Mansjoer A. dkk (1999 : 477-479) tujuan dari terapi asma adalah:
1. Menyembuhkan dan mengobati gejala asma.
2. Mencegah kekambuhan.
3. Mengupayakan fungsi paru senormal mungkin serta mempertahankannya.
4. Mengupayakan aktifitas harian pada tingkat normal termasuk melakukan exercise.
5. Menghindari efek samping obat asma.
6. Mencegah obstruksi jalan nafas yang irreversibel.

Terapi awal yaitu :
1. Oksigenasi 4-6 liter/menit
2. Agonis ß-2 (salbutamol 5 mg atau feneterol 2.5 mg atau terbutalin 10 mg) inhalasi nebulasi dan pemberian dapat diulang setiap 20 menit sampai 1 jam. Pemberian agonis ß-2 dapat secara subcutan atau IV dengan dosis salbutamol 0,25 mg atau terbutalin 0,25 mg dalam larutan dekstrosa 5 % dan diberikan berlahan.
3. Aminofilin bolus IV 5-6 mg/kg BB, jika sudah menggunakan obat ini dalam 12 jam sebelumnya maka cukup diberikan setengahnya saja.
4. Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg IV jika tidak ada respon segera atau pasien sedang menggunakan steroid oral atau dalam serangan sangat berat.


G. PATHWAY


H. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Aktivitas / Istirahat
Pada pasien asma akan ditemukan gejala letih, lelah, malaise, ketidak mampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernapas, ketidak mampuan tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi, dispnea pada saat istirahat, atau respons terhadap aktivitas atau latihan.
b. Sirkulasi
Pembengkakan pada ekstremitas bawah, peningkatan TD, tachycardia berat, warna kulit / membran mukosa : normal/ cyanosis.
c. Integritas Ego
Pasien ini akan terdapat gejala peningkatan faktor risiko, perubahan pola hidup, ansietas, ketakutan dan peka rangsang.
d. Makanan / Cairan
Mual / muntah, ketidak mampuan untuk makan karena distress pernapasan, turgor kulit buruk, berkeringat, oedema dependent.
e. Pernapasan
Napas pendek khususnya pada kerja, cuaca atau episode berulangnya sulit napas, rasa tertekan di dada, ketidak mampuan untuk bernapas, ronkhi, mengi sepanjang area paru atau pada ekspirasi dan kemungkinan. Selama inspirasi berlanjut sampai penurunan atau tak adanya bunyi napas, bunyi pekak pada area paru dan kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 atau 5 kata sekaligus.
f. Hygiene
Penurunan kemampuan / peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari-hari, kebersihan buruk, bau badan.
g. Keamanan
Riwayat alergi terhadap zat / faktor lingkungan, adanya / berulangnya infeksi, kemerahan / berkeringat.
h. Seksualitas
Penurunan libido.
i. Interaksi sosial
Hubungan ketergantungan, kurang sistem pendukung, penyakit lama atau ketidak mampuan membaik, ketidak mampuan untuk membuat / mempertahankan suara karena distress pernapasan, keterbatasan mobilitas fisik.
j. Penyuluhan / Pembelajaran
Penggunaan / penyalah gunaan obat pernapasan, kesulitan menghentikan merokok, kegagalan untuk membaik.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Inefektif kebersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi mukus, kekentalan sekresi, dan bronkospasme.
1) Kriteria hasil :
a) Mendemonstrasikan batuk efektif.
b) Mencari posisi yang nyaman untuk memudahkan peningkatan pertukaran udara.
c) Menyatakan strategi untuk menurunkan kekentalan sekresi.
2) Intervensi :
a) Instruksikan klien pada metode yang tepat dalam mengontrol batuk;
(1) Napas dalam dan perlahan sambil duduk setegak mungkin.
(2) Gunakan napas diafragmatik.
(3) Tahan napas selama 3-5 detik dan kemudian hembusan sebanyak mungkin melalui mulut (sangkar iga bawah dan abdomen harus turun).
(4) Ambil napas kedua, tahan dan batuk dari dada (bukan dari belakang mulut / tenggorokan) dan menggunakan napas pendek, batuk kuat.
(5) Demonstrasikan pernapasan pursed-lip.
b) Pertahankan hidrasi adekuat : meningkatkan masukan cairan 2 sampai 4 liter per hari bila tidak dikontra indikasi penurunan curah jantung/gagal ginjal.
c) Auskultasi paru-paru sebelum dan sesudah tindakan.
d) Dorong / berikan perawatan mulut.
3) Rasional :
a) Batuk yang tidak terkontrol melelahkan dan inefektif, menimbulkan frustasi.
(1) Duduk tegak menggeser organ abdominal menjauhi paru memungkinkan ekspansi lebih besar
(2) Pernapasan diafragmatik menurunkan frekuensi pernapasan dan meningkatkan ventilasi alveolar.
(3) & (4) Peningkatan volume udara dalam paru meningkatkan pengeluaran sekret.
(5) Pernapasan pursed-lip memanjangkan ekshalasi untuk menurunkan udara yang terperangkap
b) Sekresi kental sulit untuk dikeluarkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus yang dapat menimbulkan atelektasis.
c) Pengkajian ini membantu mengevaluasi keberhasilan tindakan
d) Hygiene mulut yang baik meningkatkan rasa sehat dan mencegah bau mulut. (Carpenito, L.J., 1999 : 131, Doenges, 1999 :166)
b. Kerusakan pertukaran gas berhubungkan dengan gangguan suplai oksigen (obstruksi jalan napas oleh sekresi, spasme broncus), kerusakan alveoli.
1) Hasil yang diharapkan :
a) Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan adekuat dengan AGD (Analisa Gas Darah) dalam rentang normal dan bebas gejala distres pernafasan.
b) Berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat kemampuan atau situasi
2) Intervensi keperawatan :
a) Kaji frekwensi kedalaman pernafasan
b) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernafas.
c) Batasi aktivitas pasien atau dorong untuk istirahat tidur
d) Awasi tanda-tanda vital.
3) Rasional
a) Manifestasi distres pernapasan tergantung pada/indikasi derajat keterlibatan paru dan status kesehatan umum.
b) Tindakan ini meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan pengeluaran sekret untuk memperbaiki ventilasi (rujuk pada DK : bersihan jalan nafas tak efektif).
c) Mencegah terlalu lelah dan menurunkan kebutuhan/konsumsi oksigen untuk memudahkan perbaikan infeksi.
d) Demam tinggi sangat meningkatkan kebutuhan metabolik dan kebutuhan oksigen dan mengganggu oksigenasi seluler. (Doenges E., 2000 : 168)
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia / mual-muntah.
1) Kriteria hasil :
a) Menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat.
b) Menunjukkan perilaku / perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan/atau mempertahankan berat badan yang tepat.
2) Intervensi :
a) Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini
b) Berikan perawatan oral sering, buang sekret, berikan tempat khusus untuk sekali pakai dan tisu
c) Berikan makanan porsi kecil tapi sering
d) Hindari makanan penghasil gas dan minuman karbonat
3) Rasional :
a) Sering anoreksia karena dispnea, produksi sputum dan obat.
b) Rasa tidak enak, bau dan penampilan adalah pencegahan utama terhadap nafsu makan dan dapat membuat mual dan muntah dengan peningkatan kesulitan napas.
c) Membantu untuk meningkatkan kalori total
d) Dapat menghasilkan distensi abdomen yang mengganggu nafas abdomen dan gerak diafragma, dan dapat meningkatkan dispnea. (Doenges M.E., 2000 : 159)
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas (kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada lingkungan, proses penyakit kronis, malnutrisi).


1) Kriteria hasil :
Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah / menurunkan resiko infeksi.
2) Intervensi :
a) Awasi suhu
b) Tunjukkan dan bantu pasien tentang pembuangan tisu dan sputum.
c) Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.
d) Kolaborasi : Berikan antimikrobial sesuai indikasi
3) Rasional :
a) Demam dapat terjadi karena infeksi / dehidrasi
b) Mencegah penyebaran patogen melalui cairan
c) Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap infeksi.
d) Dapat diberikan untuk organisme khusus yang teridentifikasi dengan kultur dan sensitivitas atau diberikan secara profilaktik karena resiko tinggi. (Doenges M.E., 2000 : 162)
e. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, tindakan berhubungan dengan kurang informasi / tak mengenal sumber informasi, salah mengerti tentang informasi, kurang mengingat / keterbatasan kognitif.
1) Kriteria hasil :
a) Menyatakan pemahaman kondisi / proses penyakit dan tindakan.
b) Mengidentifkasi hubungan tanda / gejala yang ada dari proses penyakit dan menghubungkan dengan faktor penyebab.
2) Intervensi :
a) Jelaskan / kuatkan penjelasan proses penyakit individu.
b) Instruksikan / kuatkan rasional untuk latihan napas, batuk efektif dan latihan kondisi umum.
c) Anjurkan menghindari agen sedatif antiansietas kecuali diresepkan / diberikan oleh dokter mengobatai kondisi pernapasan.
d) Tekankan pentingnya perawatan oral / kebersihan gigi.
e) Diskusikan faktor individu yang meningkatkan kondisi, misal : udara terlalu kering, angin, lingkungan dengan suhu ekstrim, serbuk, asap tembakau, sprei aerosol, polusi udara, dorong klien / orang terdekat untuk mencari cara mengontrol faktor ini dan faktor di rumah. (Doenges M.E., 2000 : 162)

Photobucket